Monday 15 December 2008

SK - Hari 8: KECEMPLUNG


Hari ini aku sudah mulai di percaya untuk memegang sesi berdua dengan Rm.Wahyu, hanya saja karena ada kesalahan, Beliau malah meninggalkanku yang cengo bingung abis ngga tahu harus ngapain (Desigh!!!). Tapi untung masih ada Sr.Erik yang mau membantu. Sebagai imbasnya, aku harus membantunya dalam ibadat malam nanti. Yo wis, terima saja wong dah kedarung kok, nyemplung aja sekalian. Soal dinamika kelompok, hmm..begitulah, keluar liar dan hasrat kekanak-kanakanku. MKKBS = Masa Kecil Kurang Bahagia Sejahtera. Tapi temen gendhenkku banyak kok disana, contohnya… (hayo yang ngerasa, angkat jempol kaki!!!)
Eh, soal Sr.Erik, aku denger ada beberapa suara yang mengatakan hal-hal yang kurang baik terhadap sikap Beliau. Kalau wajah sih jangan ditanya. Sama seperti aku, wajah bisa sangar-sangar ngenes, tp hatinya baik….gubrak! Nah, makanya aku nggak peduli dengan apa yang dikatakan orang. kucoba menerima semua informasi itu, namun tidak kuyakini 100%. Itu kan pendapat mereka. Pendapatku mungkin berbeda. Lagipula aku juga belum terlalu mengenal Beliau. aku yakin Beliau tidak akan ada di bawah kongregasi yang bernama “cinta kasih” bila Beliau tidak memiliki cinta kasih. Kalau langsung kuterima, itu namanya berasumsi. Asumsi itu baik dalam batas-batas kewajaran, tapi tidak baik bila sampai pada batas-batas kekurangwajaran.
Hari ini aku juga sedikit jengkel karena kudengar beberapa orang mempertanyakan keberadaanku. Masalahnya bukan lagi ketidakpercayaan, namun mereka mengangkat juga persoalan SARA. Mereka mempertanyakan mengapa aku mau pergi dan melayani di tempat ini. Apa ada maksud tertentu? Kok mau-maunya dia kerja disini? dan bagiku yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika mereka yang terlibat dalam pembicaraan itu tidak mau mengatakan yang sejujurnya apa yang telah mereka bicarakan.
Tuhan, malam ini mataku berkaca-kaca, aku sedih sekaligus kecewa, dan juga agak marah. Mengapa orang tidak bisa menerima bahwa aku memang berbeda. aku berbeda bukan karena keinginanku. aku tidak pernah minta dilahirkan dengan tingkat sosial ekonomi seperti ini. aku “nyemplung” ke bumi begitu saja. Engkau yang menempatkanku. Apakah ada kesalahan dalam penciptaanku?
aku tahu mungkin mereka merasa risih dan sungkan untuk bergaul denganku. Namun mereka pasti tidak tahu, bahwa sebenarnya akulah yang takut untuk bergaul dengan mereka. aku ingin berteman dengan mereka, hanya saja aku tak tahu bagaimana caranya untuk menembus dinding-dinding mereka. aku takut bila mereka menempatkanku di atas mereka. aku takut bila mereka tidak percaya padaku. aku takut bila mereka minder denganku. Padahal, justru aku yang minder dan takut dengan mereka. Mungkin aku hanya salah satu orang aneh yang berpikir seperti ini.
Mungkin sebaiknya aku kembali saja ke “dunia”ku di seberang pulau ini. Tapi itu namanya PENGECUT. Tuhan, aku tidak mau pulang. aku bukan mau membuktikan bahwa diriku hebat dan aku bisa berada di antara mereka yang berbeda. aku hanya ingin menjadi bukti bahwa cinta kasihMu itu tidak pernah mengenal batasan-batasan manusiawi. Justru bila itu terjadi, PuteraMu sendiri tak akan pernah mengejawantah dengan sosok “Yesus”.
Tuhan, bantu aku untuk tabah. Bantu aku untuk melihat bahwa hidup ini adalah anugerahMu, apapun dan bagaimanapun bentuknya. Sekian banyak kebaikan yang ada dalam hidupku, masakan aku melihatnya sebagai kesalahan? Tidak Tuhan. aku yakin ada sesuatu yang sedang Kaurajut dalam diriku. Semoga kelak, aku melihatnya sebagaimana Engkau melihatnya.
Mataku menatap pada salib, dan kulihat bagaimana Ia memandangku seraya berkata: “Ini semua demi engkau…demi engkau…demi engkau…”
Sekali lagi permenunganku ini kubawa dalam bait:

-Demi aku-

Tuhan, demi aku
anak kecil yang tiada berdaya ini
Kaupeluk dan Kaudekap
Wajahku kubenamkan pada dadaMu
Dan kubiarkan janggutMu menutupi kepalaku

Tuhan, demi aku
Kau memelukku dengan sedemikian
Hingga seluruh badanku luput dari cambukkan
Kau malahan menjadikan punggungMu perisaiku
Kau biarkan cambuk-cambuk menoreh punggungMu
Sementara aku dapat tidur nyenyak dalam dekapanMu

Tuhan, demi aku
Kau memegang erat kepalaku
MenutupiNya dengan tanganMu yang besar
Kau sembunyikan kepalaku di bawah daguMu
Kau biarkan aku aman mengecup aroma leherMu
Sembari Kaubiarkan mahkota duri menancap kepalaMu

Tuhan, demi aku
Kau mendekapku dan merangkul pula “tahta mati”Mu
Tertatih sulit mengatur keduanya
Kau berusaha supaya aku tidak terantuk tanah
Meski untuk itu Kau terpaksa jatuh
Sekali lagi tubuhMu menjadi penopang salib itu
Agar tidak menimpaku yang rapuh ini

Tuhan, demi aku
JubahMu ditanggalkan bagiku
Kau selimuti aku dalam jubahMu
Supaya aku merasa nyaman dan tidak malu
Meski untuk itu Kau menanggung aib
Karena bukan lagi kegagahan agungMu yang nampak
Namun hanya kekalahan dan kelemahan

Tuhan, demi aku
Kali ini aku tak terelakkan
Namun masih juga Kau berusaha
Menjadikan diriMu selubung nyawa untukku
TanganMu Kaurentang di atas tanganku
KakiMu di atas kakiku
Sehingga paku-paku itu
Menancap dan merobek tangan dan kakiMu
Lebih dahulu

Tuhan, demi aku
Habis-habisan Kau mengerahkan
Segala daya upaya
Agar aku aman dan nyaman
Dalam menjalani hidup ini
Yang sering kali terasa kejam dan sadis

Rrgn-fml 8/3/7

Tuhan, aku sudah “nyemplung” di tempat ini, dan bersama Engkau, aku mau berenang meski harus belajar menerima resiko ‘tenggelam’.

0 comments: