Monday 15 December 2008

SK - Hari 16: AKU HAUS

Berbeda dengan kemarin. Banyak hal yang kuterima hari ini.
Hari ini aku melihat lebih jauh dalam diri para retretan. Banyak anak yang rindu kasih sayang. Banyak anak yang mengalami kehausan akan keharmonisan dalam keluarga. Bahkan tak hanya itu. Beberapa orang dari tim pendamping/pembimbing retret pun mengalami hal yang sama. Haus cinta kasih; haus belas kasih; haus pengampunan.
Selama mendampingi gelombang ini, pikiranku selalu memunculkan gambaran anak-anak yang hadir disekitarku. Mulai dari murid-muridku di Jakarta, adik-adik PPA dan SEKAMI, sampai teman-teman di SD dan TKku dulu. Sekarang aku dapat lebih memahami, kenapa dulu mereka begitu nakal dan menyebalkan. Itu semua karena bahasa mereka terbatas. Mereka tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan kebutuhan mereka. Mereka hanya dapat mempergunakan apa yang mereka tahu, yakni tubuh mereka. Mereka membahasakan jeritan hati mereka, bahwa mereka haus dan rindu akan kasih. Kenakalan mereka, khususnya anak-anak yang berasal dari keluarga yang berantakan, adalah ‘bahasa protes’ mereka.
Ya, seperti yang sering kurasakan, anak selalu terluka bila melihat orang tuanya bertengkar. Kenapa? Karena anak adalah hasil dari cinta kasih –anak yang dari hasil perkosaan sekalipun, ada dari dasar cinta/rasa suka meski sangat dangkal-. Ketika anak harus melihat dan mendengar orang tuanya bertengkar, mereka sebenarnya melihat bahwa ‘sumber’ cinta kasih mereka mengingkari kodratnya, dan anak menderita lantas mulai bertanya, darimana sebenarnya asal mereka.
Yang hingga kini belum dapat kuterima adalah anggapan bahwa orang tua selalu lebih menderita dalam pertengkaran karena mereka sudah tahu membahasakan perasaan mereka. Menurutku tidak. Lihat saja dalam keluarga Katolik. Suami hanya berhadapan dengan satu orang istri. Istri hanya berhadapan dengan satu orang suami. Tapi anak, mereka berhadapan dengan dua orang, ayah dan ibunya. Sementara mereka dalam posisi yang lemah. Jadi mana yang lebih menderita?
Belum lagi bila terjadi perceraian. Orang tua bilang itu demi kebaikan anak. Si anakpun makin berat bebannya. Mereka seolah menjadi alasan kebaikan, hanya demi keegoisan orang tuanya. Sayang, mereka tidak tahu membahasakannya dan orang tua tidak mengerti bahasa mereka.
Malam tadi, aku juga bertemu Rm.Laton dan Rm.Rusman yang menyatakan rindunya untuk mendengar dan dibagi cerita-cerita dan pengalaman-pengalaman dari orang muda (dariku). Mereka pun haus.
Tuhan, saat kupandang salibMu di kapel ini, kudengar suaraMu yang begitu menderita: “Aku haus!”
Tuhan, kulihat bahwa semuanya ini hendak mengatakan padaku, bahwa Engkau merindukan cinta kasihku. Tuhan, ampuni aku; aku lupa dan kurang sungguh-sungguh dalam doa dan puasa (aku jadi ingat sharing dari Rm.Bowo tentang bagaimana doa dan puasa dapat menyatukan dan menguatkan kita). Tuhan, waktuku tidak banyak disini, namun aku ingin berubah; aku mau melakukan sesuatu untukMu. Tuhan, aku mau menjadi “malaikat” yang rajin berdoa dan berpuasa. Tuhan, kuatkan dan ingatkan aku, bahwa Engkau selalu rindu padaku, bahwa Engkau menanti cinta kasihku. Tuhan, berilah aku kekuatan untuk melawan “kurcaci-kurcaci” yang begitu pandai dan licik ini.
Tuhan, aku mau mencintaiMu, namun aku tak tahu bagaimana caranya dan apakah aku bisa. Tuhan, tolonglah aku supaya aku dapat memberikan air untuk melegakan kehausanMu. Tuhan, aku percaya, di dalam Engkau, aku pasti bisa. Demi Engkau, aku mau, Tuhan. Ke dalam tanganMu pula, kupersembahkan dan kuserahkan keluarga anak-anak dan teman-teman dekatku yang bermasalah. Damaikanlah, agar buah cinta kasih keluarga itu tidak dikorbankan.
Yesus, Maria, Yosef, Para Malaikat, doakanlah kami. Amin.
Orang yang rendah hati adalah orang yang selalu mencari sesamanya yang kehausan dan kemudian ia membagi air kasih dan damai yang ia miliki.

0 comments: