Monday 15 December 2008

SK - Hari 1: BERBEDA


Pk. 17.35 adalah saat pertama aku menginjakkan kaki di negeri pempek ini. Kesan pertama yang kujumpai adalah adanya perbedaan. Bandara ini jauh lebih bagus dari ekspektasiku. Mungkin karena referensiku selama ini adalah bandara nan imut di Semarang. Well, apapun juga, harus kuakui, Jakarta yang konon megah ternyata kalah (malu nih ye!!!).
Setelah mengambil koperku, yang berikutnya kutuju adalah Galuh. Ini dia, malaikat yang menuntun aku hingga aku dapat sampai di Palembang. Kuingat ketika pertama kali dia mengajak kenalan: “Ini Galuh. Kenalan dooong…!” di sela-sela obrolan kabel tumpang-tindih antar YDCers, tgl 24 Mei 2006 pk.21:22. Relasi kami bertumbuh terus. Kami bisa saling cerita dan saling memimpikan satu sama lain. Sayang, kami selalu dibatasi kabel dan satelit hingga tak pernah bisa saling memandang. Ini pula yang sedikit mengkhawatirkanku, tapi aku yakin, pasti ada cara hingga aku dapat menemukannya. “Kita nunggu di kedatangan internasional!” serunya via HP. Ok, dan akupun beranjak. Tak lama kususuri bandara, kulihat seorang gadis bersebelahan dengan seorang pemuda. Tersenyum ramah. Tak salah lagi, “Ini pasti Galuh”. Gadis itu tertawa.
Kami berdua tertawa bersama. Mengapa? Ya karena gambaran yang sudah melekat dalam benak kami sungguh berbeda. Gambaran tentang Galuh yang kuperoleh dari orang-orang sama sekali tidak menggambarkan dia yang sesungguhnya. aku yakin, dia pun berpikiran sama. Setelah mendengarkan beberapa kalimat yang terlontar dari mulutnya, yakinlah aku bahwa ini juga suara yang nyerocos di telponku.
“Kak, nanti langsung ikut Adorasi ya!” katanya di sebelah Mas Iin yang mengemudi. Inilah Galuh… inilah Galuh… inilah Galuh… ini Galuh (sengaja dibikin GR dulu biar jerawatnya nambah!) kucoba membuang gambaran tentangnya yang pernah kubuat dan mengisinya dengan figur dia yang sekarang ada bersamaku. Aku tak mau bila gambaran fisik yang berbeda sampai mengurangi rasa penghargaanku terhadapnya, dan akupun tak mau bila yang sebaliknya terjadi. Lagipula, persahabatan dalam kamusku tidak pernah mengenal SARA (Suku, Agama, Ras,… Anatomi %^&*@??).
Pk. 17.55 aku tiba di RR Giri Nugraha. Aku langsung diantar ke tempat tinggalku yang sementara. “Prevot” nama tempat itu. “Salam jumpa Pangeran Kesederhanaan” ucapku dalam hati. Kesederhanaan selalu melekat dalam benakku tatkala aku mengunjungi tempat yang tidak berorientasi pada harta. Memang tempat yang kubayangkan sekali lagi berbeda. Kutempatkan koperku di kamar tengah. Akupun beranjak bersama Galuh ke tempat adorasi. RR ini njlimet, pasti butuh waktu beberapa hari sampai aku, si orang bodoh ini, dapat mengenalnya.
Adorasi bergaya Taize ini hanya membawa pikiranku melayang kembali ke Jakarta dimana aku dipercaya untuk mengkoordinir KDM Tz. Yang pasti aku menahan diriku untuk tidak tampil belagu, meski secara tidak sadar kadang aku menyanyikan lagu-lagunya untuk suara yang alto atau tenor. aku tahu, aku hanyalah orang asing disini dan aku mau belajar sesuatu dari tempat ini. aku yang belajar, bukan aku yang mengajar.
Malam itu juga, Rm.Haryoto memberitahu bahwa tulisanku “Bocah Kecil di Kamar Pengakuan” dimuat di majalah HIDUP. Skeptis aku bersikap karena aku tidak mendapat kabar dari redaksi dan aku sendiri tidak melihatnya. aku hanya bersyukur bahwa itu terjadi dan aku bahagia bila itu berguna.
aku juga ngobrol banyak dengan Galuh. Kami berdua kagum dengan keajaiban, bagaimana kami bisa saling percaya satu sama lain tanpa pernah bertatap muka. “Segitu kuatnya ya persahabatan itu?” kata Rm.Santoso. Itulah yang terjadi. Ada perbedaan konsep persahabatan yang kami rasakan yang berbeda dengan yang biasanya terjadi, dan itu harus kami akui dan kami terima. Sebagai pengikut Kristus, aku semakin percaya bahwa cinta kasih dapat menyatukan orang, siapapun dia.
Malam sebelum aku tidur, kutuliskan pada selembar kertas kecil:
“Ingatlah, bahwa kamu datang ke tempat ini bukan untuk mengajar, melainkan untuk diajar.
Karena itu, letakkanlah hatimu di tempat yang paling rendah yang dapat kamu jangkau, supaya kamu belajar menjadi rendah hati, tidak hanya di hadapan sesamamu namun juga di hadapan Tuhan.”
Tulisan ini kutempelkan di dekat pintu supaya aku selalu melihatnya, membacanya dan mengingatnya.

Inilah misi yang kubawa. aku mau belajar menjadi orang yang rendah hati. Selama ini aku memang tidak (merasa) sombong, namun aku tidak pernah sungguh-sungguh menyadari apa rasanya atau seperti apa menjadi rendah hati itu.
Hari ini aku belajar, bahwa orang yang rendah hati harus berani membuka diri terhadap perbedaan, harus berani menerima perbedaan, dan akhirnya harus mau membaur dengan perbedaan itu sendiri.

0 comments: